Catatan Harian Naraya, 05033013
Namaku Naraya, aku anak ketiga dari lima bersaudara, sejak kecil kami dibimbing tuk patuh dan taat pada Allah. Hidupku sangat sederhana dan aku juga sedikit tertutup. Selain pada ibu aku tak pernah dekat dengan saudara saudaraku. Mungkin karena kondisi fisikku yang lemah jadi kakak kakakku jarang mengajakku ikut bermain bersama mereka, sedang adik adikku masih sangat kecil waktu itu, jadilah saya harus bermain seorang diri di dapur sambil memperhatikan mama masak dan mengikutinya, atau di halaman depan tumah membuat miniatur rumah lengkap dengan kamar kamar seperti rumahku.
“Aya, itukan mainan kakak?” teguran kak Mila, kakak perempuanku sontak mengagetkan aktifitasku kala itu. Dan tanpa aku sadari ia telah meraih dengan paksa mainan bongkar pasang yang sedang aku mainkan, akibatnya, orang orangan menjadi robek dan sontak membuat kakak jadi marah besar padaku.
“Aya, jangan pernah lagi menyentuh mainan kakak tanpa ijin dari kakak, lihat semua jadi robek, khan ga bisa lagi dipakai main!” tukasnya sambil melotot marah padaku.
“Maaf kak, tadi kakak ga ada, jadi aku pikir pinjam sebentar aja, tapi malah robek, lagian kenapa juga kakak langsung main rampas aja?” elakku tak ingin disalahkan begitu saja.
“Maa, lihat ni, Aya robekkan mainanku, ;padahal aku kan ingin pakai bareng teman-teman” kak Mila mengadukanku pada mama. Aku hanya mampu merengut, antara ingin membernarkan bahwa aku tak salah, tapi sebagian juga meyakini lesalahanku.
Sejak kecil aku dan kak Mila, memang sering tak seirama, aku selalu minder padanya, ia dikarunia wajah yang begitu cantik, putih, dan mudah bergaul dan menjadi permata di mata bapak juga semua kelaurga, sedang aku? Aku selalu jadi bulan bulanan keluarga, karena kulitku yang hitam, selalu menyendiri, bahkan tak pandai dalam bergaul. Jika aku berjalan beriringan dengan kak Mila sangat jelas terlihat perbedaan serupa kisah dongeng putri dan si buruk rupa. Kadang kawan kawan selalu mengolok olok aku dengan mengatakan aku bukan anak kandung, tapi didapat entah dimana.
Sejak kecil aku selalu merasa terkucilkan karena tak putih seperti kak Mila, kadang aku iri padanya, dan berharap ia tak ada saja, namun saat ia benar benar tak ada aku sangat merindukannya. Bahkan pernah suatu hari kak Mila ke rumah nenek, saking rindunya aku padanya aku jadi jatuh sakit. Akh, betapa kenangan masa kecil sangat indah meski kadang kadang menjengkelkan
“eh, Aya, kamu itu anak di dapat dari hutan, lihat saja kulit semua saudaramu putih bersih sedang kamu? Hitam menyerupai beruang...ha ha ha” ledek seorang kawan tetangga rumah. Aku lalu pulang menangis dan berrtanya pada mama apa benar aku adalah anak angkat? Dan menanyakan kenapa warna kulitku tak seputih kakak dan adik?
“Aya sayang, kulitmu itu sama persis kulit bapak, meski hitam tapi Aya sangat manis dengan kedua tahi lalat yang menghiasi pipi kanan-kirimu, mama sangat suka tahi lalatmu itu, lagi pula wajah Aya itu persis mama bedanya hanya di kulit saja, percayalah sayang” ujar mama lembut membujukku dan meyakinkan bahwa aku itu anak kandungnya. Seiring waktu setelah aku sedikit dewasa aku baru menyadari bahwa wajah mama tak ada satupun yang aku buang, bahkan kawan kawan mama jika melihatku mereka kadang memelukku karena ia bisa melihat mama dari akua. Akh....mama aku terkadang rindu padamu, namun saat ini hanya doa dan kenangan bersamamu yang mampu mengikat kedekatan kita.
Aku ingat saat kecil, aku sangat keras kepala jika berkehendak harus diikuti, pernah suatu pagi aku tiba tiba tak ingin pergi ke sekolah, ibu sangat marah. Namun ia tak pernah tanya padaku kenapa aku tak ingin sekolah, aku harus terus sekolah biar pandai katanya.
"Aya, mama ga bisa berikan warisan padamu, dan saudara saudaramu selain kalian harus belajar dan sekolah" ujar ibu marah.
Memang hidup kami jauh dari yang bernama kaya, namun aku sangat bangga pada mama, ia berjuang demi kami berlima dari subuh ia terbangun terantuk antuk di depan dapur menyiapkan sarapan buat kami. Selepas itu ia akan siap siap menuju ke pasar dan menggelar jualannya.
Tapi, hari itu, aku tak ingin sekolah soalnya di sekolah aku selalu jadi bulan bulanan teman teman dan membanding bandingkanku dengan kakak dan adik adikku. Huft menjengkelkan juga bila mengingat hal itu.
Makassar Awal 2013
Pagi ini aku sangat ingin makan bubur, soalnya beberapa hari ini lambungku terasa ada yang mengganjal, nafasku agak berat, dan mulut ga kuat mengunyah yang berat berat, alhasil aku susah makan. Aku sepertinya mengingat sesuatu jika menemu makanan ini, dulu saat masih kanak kanak makan bubur rasanya paling enak apa lagi yang buat mama, aku paling suka bubur.
Dulu saat aku umur sekitar 10 tahun, pertama kali dadaku terasa sesak, rasaanya ada yang mengganjal di perutku, yang kemudian kutahu itu adalah lambung.Maag. Tapi bukan itu penyebab utama aku harus tak kesekolah, sejak sekolah Te Ka dulu setiap jadwal makan bersama, aku selalu merepotkan guru ku karena waktu waktu tersebut dadaku selalu sesak dan tak bisa bernafas, beruntung puskesmas berhadapan langsung dengan TK tempatku sekolah jadi ya aku langganan masuk ke sana, hingga nafasku kembali pulih. Itu sebabnya aku suatu hari tak ingin sekolah dan membuat mama marah besar hingga aku dipukul sampai di sekolah. (Tapi itu udah aku ceritain di depan catatan ini) yang ingin aku cerita kali ini adalah tentang bubur yang sangat aku suka, padahal semua orang paling ga suka makan bubur apalagi kalau sedang ga enak badan. Berbeda denganku sakit atau tidak aku sangat suka makan bubur, karena aku bisa mengingat kenangan undah bersama almarhumah mama.
"Ma, aku ingin makan" ucapku lirih pada mamak yang saat itu menjagaku karena sudah beberapa hari aku terbaring sakit. Sepertinya perutku menginginkan sesuatu, setelah menolak makanan yang diberikan padaku, setiap disuapi selalu saja ku muntahkan entahlah aku juga saat masih terlalu hijau tuk mengerti aku sedang sakit apa. Setahuku tiap kali musim hujan datang, metabolisma tubuhku pasti turun, dan tanpa alasan aku tiba tiba menggigil kedinginan tapi juga panas di bagian leher.Entah. Aku sangat dekat dengan mama karena kondisi badanku yang sangat rentan dan lemah, dan hanya padanya ku keluhkan semua sesak yang mengisak di hatiku kala itu.
"Aya mau makan apa sayang?" tanya mama sambil mengusap wajahku yang memucat.
Lalu, perlahan kulihat mama membuatkan aku bubur, awalnya aku berontak ga mau makan nasi tapi kemudian mama menjelaskan kalau yang mama masak bukan nasi tapi bubur biar aku bisa memakannya meski hanya sesuap. Terbayang di benakku bubur kan hanya untuk bayi, kok aku harus makan bubur juga? Tapi aku tetap saja diam memperhatikan mama memasak, Aku paksa bangun dari tidurku hanya karena tak ingin jauh dari mama, aku tak ingin sedetik saja mataku berkedip dan aku tak mendapati mamaku disana di depan tungku sedang memasak bubur untukku.
"Supaya Aya ga bosan makan bubur, mama tambahkan dengan santan ya" sepertinya mama tahu apa yang sedang aku pikirkan tentang bubur adik bayi.
"Pakai santan ya ma? bukannya itu seperti bubur merah dan kacang ijo?"
Setahu aku mama juga sering buat bubur yang memakai santan dan gula merah sebagai teman berbuka saat bulan Ramadhan, tapi kulihat tak ada gula nerah disana, hanya santan. Aku jadi bingung bubur apa yang akan dibuatkan mama untukku.
Sambil tersenyum mama memandangku, yang duduk bersandar di dinding sambil mencoba mengangkat leherku melihat bubur bersantan buatan mama.
"Aya pasti suka" ucapnya kemudian.
Setelah hampir sejam aku menunggui mama memasak bubur santan, akhirnya mama menyajikannya untukku, masih dengan kepulan asapnya, baunya juga harum dan sedap kata orang di kampungku "mapulluk" yang kira kira artinya kental khas santan kental" juga rasanya ga manis tapi asin.
Sesuap demi sesuap bubur masuk ke dalam perutku, dan anehnya ia tak menolaknya, kurasakan lambungku mengolahnya dangan hangat, lidahku juga tak kelu mencecap bubur itu. Kulihat wajah mama yang tadinya was was perutku akan meolaknya seperti sebelumnya bias dan memancarkan senyum. Aku juga ikut senyum memandang wajah penuh kasih yang ada di depanku. Kulihat ada bening kristal menitik di sudut kiri matanya, tapi aku tahu itu bukan sedih namun haru melihatku akhirnya bisa tersenyum.
"Mama, aku akan makan apa saja yang kau baut dari tanganmu, karna itu adalah obat penyembuh buatku" bisikku di dalam hati, dan matakupun hangat oleh embun yang entah
sejak kapan mengaca di sana.
"Besok, karena Aya udah bisa bangun kita ke puskesmaas lagi ya" bujuk mama sambil terus menyuapiku.
"Tapi aku ga mau di suntik ma" rengekku. Sejak aku sakit sakitan tiap seminggu sekali aku harus ke puskesmas untuk diperiksa perkembangan penyakitku, sebenarnya aku ga masalah ke puskesmas karena hampir semua perawat juga dokternya sangat baik padaku, yang aku ga suka adalah jika harus masuk keruang suntik, aku paling benci di suntuk karena akan menyakiti pantatku, dan juga benci diberi obat yang berbentuk cair, entah knapa aku selalu memuntahkan jika minum obat yang berbentuk cair.
"Tapi jangan di suntik ya mama, trus bilanf ma tante dokter kalau ngasih obat yang tablet aja, aku juga ga mau minum sirup" rengekku dan airmata mama kulihat menitik hingga dipipi, sontak tangan kecilku mengusapnya aku juga haru. Aku bisa rasa betapa perih hati mama melihatku yang harus hidup dengan obat obatan, namun iapun tak berdaya atas semua kondisi kami. Dan aku harus selalu ke puskesmas seminggu sekali hingga aku duduk di kelas 3 SMP. Aku akhirnya tahu jika aku mengidap penyakit bronkhitis, dan ga boleh terlalu dingin badanku ga bisa tahan dengan hawa dingin.
Kini puluhan tahun sudah berlalu, dan kenangan mama dan bubur buatannya masih hangat di ingatanku. Dan akhirnya aku selalu memcari bubur tiap kali badanku lagi ga sehat, atau sekedar mengingat kenangan manis itu. Karenanya aku sangat suka makan bubur.
#Buku Harian Naraya
Rabu, 05 Juni 2013
Ayano Rosie-Catatan Naraya#3
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
1 komentar:
kenangan masa kecil..selalu muncul menghadirkan kerinduan yang mendalam pada masa-masa dulu...salam :-)
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.