Titik Pada Sebuah Rumah (salah satu kisah pada Buku Kisah Tak Berwajah)
By: Ahyar Anwar
Aku melihat pada setiap sungai sebuah deru jiwa yang berlari-lari mengejar waktu yang tak pernah menunggunya.
Ada ketakutan yang ia simpan pada setiap musim. Pada hujan yang selalu jatuh dan mengejar-ngejar air matanya sendiri.
Kerinduan seperti apa yang memanggil sungai dan hujan-hujan itu?
Dihatiku ada jurang yang tebingnya lebih tajam dari mata indah seorang gadis.
Kirimkanlah aku sebuah resah, biar aku basuh dengan embun yang sekarat.
Menjadikannya rindu dan kenangan yang paling berkabut.
Meski tanpa kisah dan tanpa nama. Aku akan menguburkannya disuatu tempat dihatiku yang tak punya jendela bahkan tak ber pintu.
Setiap kisah, setiap kerinduan, seperti juga setiap kehidupan
Selalu berakhir pada sebuah titik.
Titik, mungkin adalah sebuah narasi akhir tentang kerinduan, atau sebuah narasi akhir tentang kehidupan.
Tapi setiap titik, selalu menjadi tanda bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari narasi-narasi kerinduan dan kehidupan yang baru.
Aku berkisah pada embun yang sekarat. Sungguh dalam kesunyian . seperti sungai-sungai yang mengejar takdir pada muara airmatanya.
Tanpa nama yang memandu. Aku mengarak wajah dan merangkai sebuah kisah.
Tetapi dihatiku ada laut yang lebih asin dari penderitaan! Aku hanya butuh luka untuk sempurnakan deritanya.
Siapa yang akan mengirimkanku luka dengan kabut yang paling pekat!
Aku akan menukarnya dengan bunga kecil yang keajaibannya membuat jiwa lupa pada cahaya.
Derita dan kerinduan (cinta yang merajut ditengahnya) hanya punya satu pintu untuk menyambutnya.
Kita hanya punya satu kesempatan saja, yaitu menerimanya. Menjadikannya sebuah rumah.
Sebab derita dan kerinduan (cinta yang merajut ditengahnya) tak pernah punya jawaban atas dirinya sendiri.
“terimalah! Lalu bebaskan dirimu dari semua pertanyaan tentangnya!”
Jadikanlah rumah dan tinggallah didalamnya.
Jangan menyisipkan gelisah dan keraguan ditengahnya.
Gelisah dan ragu adalah mantera pendulang rindu!
Mantera itu mengurung rasa pada harapan sekaligus ketakutan.
Mantera itu menjebakkan hati, bukan pada sebuah labirin kehidupan!
Melainkan pada padang luas yang ditumbuhi belukar kemungkinan-kemungkinan. Ditengahnya ada telaga untuk menyelami kematian.
Ditelaga itulah, setiap wajah akan menampakkan bayangannya tentang cinta!
Tetapi : “jangan menduga cinta adalah bayangan!”
Terimalah bayangannya, jangan pernah membuat sketsa wajah untuknya.
Atau malam akan menelannya tanpa kisah, tanpa jejak.
Dan yang paling mengerikan adalah : Pagi melepaskan semua kenangan menjadi awan.
Siapa yang dapat menangkup sebuah hujan yang turun bersama kenangan?
Kecuali kau mempunyai rumah pada hati seseorang.
Seabrook Suatu Ketika,
Dari sebuah pertemuan kecil di sebuah karnaval. Seorang lelaki bernama Noah dan seorang gadis bernama Ellie.
Melalui sebuah sungai yang begitu damai, Ellie mencari kenangannya pada sampan kecil yang mendayu dengan pelan. Diantaranya, ribuan, angsa-angsa putih bercengkrama mesra. Ellie, sang kekasih, masih tertegun. Sementara rona matahari mulai terbenam. Cahaya kemerahan memancar eksotik pada riak-riak kecil di sebuah sungai.
Kisah cinta itu adalah sebuah siluet yang menjadi awal kenangan. Kenangan tentang cinta yang melekat antara harapan dan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan. Hanya ada satu cinta yang dibayangkan Noah, begitu juga yang dipatri Ellie dalam hatinya. Tetapi seribu kemungkinan adalah cahaya yang selalu mungkin mengirim mendung dan gelap. Mengirim musim yang tak terduga.
Pepohonan, danau kecil, rerumputan yang lapang adalah sebuah cara untuk memancarkan rasa bagi Noah dan Ellie.
Hingga pada sebuah petang yang tidak direncanakan. Pada sebuah rumah tua yang berdebu, Noah dan Ellie menyambut gelap malam dengan rona cinta yang sempurna.
“Maukah kau membangunkan aku sebuah rumah?”
desak Ellie dengan manja pada Noah.
“Sebuah rumah dengan tempat untuk melukis, karena aku begitu suka melukis. Sebuah rumah yang pada salah satu sisinya aku dapat menikmati cahaya matahari kala pagi.”
Ellie memeluk Noah dan Noah menyimpan janji itu, sangat erat di hatinya.
Hingga pada sebuah fase perpisahan memaksa keduanya menunda segala rencana. Sekali lagi, sebuah cinta harus bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan. Ellie berangkat ke Kota untuk melanjutkan pendidikan, sementara Noah harus mengikuti wajib militer menghadapi perang dunia kedua.
Dan tujuh tahun menjadi waktu yang begitu panjang untuk sebuah harapan tentang cinta. Tujuh tahun yang merangkum kerinduan yang kedalamannya sama dengan keputusasaan.
Tetapi Ellie masih menyimpan rapih kenangannya tentang sebuah rumah, dan Noah selalu menyimpan janjinya untuk sebuah rumah bagi kekasih.
Hingga antara harapan dan keputusasaan cinta menjadi menyatu tanpa batas. Ellie bertemu dengan Lon, seorang veteran perang muda yang tampan dan kaya. Sekali lagi cinta harus bicara dengan kemungkinan yang lain. Cinta yang telah begitu jelas dan terang, cahayanya begitu pasti, sepasti keputusan Ellie untuk menikah dengan Lon. Dan sebuah gaun putih yang indah, menjadi tanda dari kepastian itu.
Tetapi setiap cinta selalu menyisakan kemungkinan dalam dirinya, bahkan ketika kepastian telah tampak merentang dihadapan.
Hingga Ellie membaca sebuah Koran dan menemukan foto Noah didepan sebuah rumah putih, sebuah rumah yang pernah ia janjikan.
Cahaya terang putih cinta Ellie dan Lon mendadak mendung dan berakhir samar.
Kenangan adalah rumah jiwa. Tempat cinta menitipkan kerinduan, gelisah, dan harapan-harapan. Hidup adalah sebuah pilihan, tetapi untuk sebuah cinta, pilihan kadang adalah sebuah kematian.
Siapakah yang harus dipilih oleh Ellie, Rumah kenangannya kah? Atau rumah masa depannya?
Musim mengirim hujan di Seabrook.
Ellie sedang merenda kenangan bersama Noah. Hujan membasahi keduanya dengan kemungkinan-kemungkinan yang kian tak jelas. Ada Lon di hatinya ketika Noah memeluknya mesra.
Sungai seperti mengejar airmata. Ada yang harus digugat dari kenyataan ini, pikir Ellie. Mengapa harus ada cinta diantara Noah dan Lon?.
“Mengapa kau tak menulis sepucuk surat pun untukku Noah” Ellie mengugat ditengah hujan yang menjerat. Dengan airmata yang mengerat jiwanya.
“Mengapa?”
“Aku telah menantimu selama tujuh tahun” teriak Ellie ditengah gemuruh hujan.
Noah menatap Ellie dengan semburat cinta yang menengadah.
“Sekarang telah terlambat!” Air mata Ellie mengalir seirama hujan.
Noah tertegun dan terpancang.
“Aku mengirimkanmu 365 surat selama tujuh tahun untukmu, surat yang kutulis dengan segala derita kerinduanku, dan tak satupun pernah kau balas” Noah berteriak ditengah petir yang memekak.
“aku menulis setiap hari untukmu!”
Ellie terdiam, tersadar pada kenyataan yang menudungi kisahnya. Ia sadar seseorang telah mengaburkan harapannya pada Noah.
Tapi Lon telah hadir dalam sebuah kesepakatan untuk membangun rumah masa depan dalam hati Ellie, sementara Noah adalah rumah kenangannya.
Ketika Lon tak punya kesalahan dan Noah menepati semua janjinya.
Pilihan selalu akan menyisakan duri.
Tapi pilihan adalah takdir kematian awal dari cinta Ellie.
Disuatu malam di sebuah ruang pada rumah impian Noah dan Ellie.
“Kau mencintai Lon?” Tanya Noah lembut.
“Ya aku sangat mencintainya” Ellie menegaskan kejujurannya.
“Baiklah, kau menikah dengan Lon dan kita menjadi seorang teman” sambut Noah dengan keperihan yang ia tanam pada senyumnya.
“dan…” Noah terbata.
“Seluruh ruang di rumah ini hanya akan berisi kenangan tentangmu!”
Pagi, ketika matahari bersinar ragu.
Ellie harus meninggalkan Noah untuk merapatkan takdirnya pada Lon.
“kau akan pergi?” Tanya Noah.
“yah, Lon adalah tunanganku dan ia kini ada di Seabrook, aku harus menemuinya”.
Dengan pasti Ellie meninggalkan Noah dan dengan tanpa daya, Noah menerima kesepian sebagai kenyataan hidupnya.
Noah memasuki rumah kenangannya, rumah yang ia bangun untuk Ellie dengan segala harapan cinta yang tanpa lelah ia pelihara.
Rumah putih itu menjadi buram dan suram.
Malam berkelebat senyap, dan semalaman Noah hanya mengurai segala kenangan. Satu-satunya yang tersisa dari Ellie, hanyalah kenangan.
Noah pernah 7 tahun dalam perang, tapi perang dengan takdir kesepian ini tak mungkin menyisakan harapan kemenangan untuknya.
Sungai mengalir lembut, selembut kematian kenangannya pada Ellie.
Bagi Noah, pagi dan malam hanyalah sebuah lipatan kesedihan yang sama.
Hari berganti,
Noah masih memeluk mimpinya, ketika suara mobil mendesak dan mengerak keletihannya, seseorang datang, tentu dengan segala kemungkinan. Seperti cinta yang selalu ada dalam kemungkinan.
Noah bangkit terhuyung, jiwanya yang runtuh membuat langkahnya goyah.
Tapi cahaya apa yang datang bersama kekasihnya Ellie pagi itu?
“aku memilihmu, karena aku ingin hidup di rumah kenanganku”
Begitulah cinta selalu adalah kemungkinan yang tak putus.
Tetapi bagi Noah, Ellie lebih dari seorang kekasih, Ellie sendiri adalah rumah bagi Noah. Dalam jiwa Ellie, disitulah Noah tinggal.
Begitulah Noah selalu bersama Ellie, sekalipun pada suatu masa, Ellie mengalami amnesia berat dan lupa pada segalanya. Ia lupa pada apapun, ia lupa telah memiliki putra-putri dan cucu-cucu. Ia lupa kalau Noah adalah suaminya. Tetapi kenangan tentang catatan kecil kisah cinta mereka menjadi pemandu baginya untuk mengingat semua kembali. Pada suatu titik dimana kematian adalah jalan terindah bagi Noah dan Ellie. Ellie wafat dan karena Noah ada dalam jiwanya, maka bagi Noah kematian Ellie adalah kematiannya.
Sebuah catatan tentang kekuatan dan bahaya sebuah kenangan yang dituliskan oleh Nicholas Sparks dalam novel pertamanya The Notebook. Sebuah novel yang ditulisnya pada rentang bulan Juli hingga bulan Desember 1994. Sebelum menyelesaikan novelnya Massage in A Bottle pada periode tahun 1996-1997, A Walk to Remember pada tahun 1998. Bagaimana sebuah cinta hadir seperti sebuah badai dan menjadi takdir yang mengikat hidup manusia pada seribu kemungkinan-kemungkinan pertemuan yang membuat hidup selalu berada dalam roh kehidupan yaitu ketidakpastian. Semua keabadian cinta selalu hanya tersisa dalam kenangan dan rahasia yang erat.19/01/2009 jam 3:22
=======================================================
Dikirim melalui Facebook
satu kebanggan tersendiri buatkku, karena note ini telah lama saya tunggu-tunggu, dan akhirnya setelah saya memintanya maka kanda Ahyar Anwar langsung mengirimkannya buatku dan yang lainnya. dan namaku pada urutan pertama, langsung saja saya simpan di kerajaanku ini. jangan lupa belilah buku Kisah Tak Berwajah, sudah banyak beredar OK
Browse » Home »
KARYA SASTRA
» Titik Pada Sebuah Rumah
Selasa, 19 Januari 2010
Titik Pada Sebuah Rumah
Salam Hujan
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar:
Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.
Komentar Anda sangat Kerajaan Air Mata butuhkan untuk pengembangan kualitas blog Kerajaan Air Mata ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.