Sabtu, 16 Januari 2010

CERPEN - JEMBATAN

By: Andhika Mappasomba


Sejak pagi, dia berdiri di atas jembatan, tepat di tengah pada sebuah sisinya. Sesekali ia menatap ke kiri dan ke kanan penuh selidik. Selebihnya, waktu dia habiskan dengan menatap ke permukaan sungai. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang dalam, suram dan membiaskan tragedi yang perih. Muram.
Burung-burung yang melompat dan beterbangan dari ranting ke ranting di pepohonan pinggir sungai berkicau lirih. Sepertinya mereka membaca pertanda yang buruk dari sang lelaki yang berdiri di atas jembatan. Sesekali kendaraan yang melintas di jembatan itu melambat jika mendekati si lelaki namun, tak ada yang betul-betul berhenti. Entah apa yang dipikirkan para pengendara yang menyaksikan seorang lelaki dengan wajah yang tak asing bertelanjang dada, bercelana kolor dan berdiri di tengah jembatan.
Matahari telah nyaris terbenam. Dia masih berdiri di atas jembatan. Masih dengan ritme yang sama. Menatap ke kiri dan ke kanan dan selebihnya, waktu dia habiskan dengan menatap permukaan sungai.
Malam datang. Lelaki itu tetap berdiri di sana. Serangga malam yang menghuni jembatan dan pinggiran sungai malam itu, mereka senyap tak bersuara. Sepertinya mereka resah, menunggu detik berlalu, menunggu peristiwa, peristiwa apa saja yang memungkinkan akan terjadi dari si lelaki.
Hari berikutnya, laki-laki itu masih berdiri. Berdiri dengan ritme yang sama namun, kini dia juga meracau. Meracau dengan bahasa yang tak terpahami. Meracau dengan suara yang keras. Suaranya terdengar jauh hingga beratus meter. Suara racauannya mengundang penduduk sekitar untuk datang menyaksikan sumber suara. Jumlah mereka ratusan. Mereka memenuhi sisi utara dan selatan jembatan. Mereka tak berani mendekati si lelaki. Mereka hanya melihat-lihat saja. Melihat dengan perasaan yang aneh. Melihat dengan gumpalan-gumpalan pertanyaan yang tak tersampaikan.
Matahari kian tinggi. Panasnya memerah hitamkan kulit si lelaki. Orang-orang yang yang datang melihat-lihat pula ikut terbakar. Si lelaki tidak peduli. Orang-orang yang datang melihat-lihat pun tak peduli. Mereka sama-sama tidak peduli. Orang-orang yang datang melihat-lihat kini semakin banyak. Kendaraan yang melintas akhirnya makin melambat karena kerumunan orang-orang.


Ketika hari telah sore dan cahaya matahari mulai melembut, sisi jembatan dan pinggiran sungai telah menjadi lautan manusia. Kini, mereka tak lagi hanya penduduk sekitar tapi, orang-orang dari kampung atau kota yang jauh pun datang. Tampaknya, kendaraan-kendaraan yang melintas dan melambat telah menjadi penyampai kabar hingga ke tempat-tempat yang jauh. Mereka bukan lagi datang melihat-lihat si lelaki. Mereka kini menonton. Menonton tiap gerak dan mendengar racauan si lelaki dengan seksama. Menonton dan menunggu. Menunggu peristiwa. Peristiwa apa saja.
Di jelang malam. Jalanan dan pinggiran sungai telah sangat sesak oleh manusia. Tak ada lagi kendaraan yang melintas. Suasana kian mencekam tak menentu. Tak ada suara lagi. Semua senyap. Lelaki itu tak lagi meracau. Lautan manusia pun senyap bagai di hipnotis oleh sebuah kekuatan magis yang sangat dahsyat. Jembatan itu bagai tersulap menjadi sebuah gedung ;bioskop yang mewah dan elit. Tak ada suara. Semua larut dalam suasana. Menunggu dan menonton pentas seorang aktor yang melakukan pementasan tunggal di atas jembatan. Pementasan mini kata. Pementasan mini gerak. Pementasan tanpa set panggung. Pementasan tanpa lighting. Tanpa musik pengiring. Tanpa perpindahan adegan.
Dalam suasana yang mencekam itu, seorang yang berpakaian seragam polisi keluar tergesa dari kerumunan dan berjalan mendekati si lelaki yang berdiri di atas jembatan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, dia bertanya pada si lelaki;
“hey, apa yang anda lakukan di sini?
Lelaki itu tak menjawab. Dia hanya menoleh sejenak lalu kembali membuang pandangannya ke sungai. Lelaki yang berseragam polisi tampak gusar dan bertanya lagi dengan nada suara yang lebih tinggi;
“apakah anda sadar dengan apa yang anda lakukan ini? Anda telah mengganggu ketertiban dengan mengumpulkan massa sebanyak ini. Apakah anda punya surat izin untuk melakukan ini semua?”
suara lelaki berseragam polisi itu nyaring terdengar hingga ke seluruh telinga lautan manusia. Namun semuanya tetap diam, senyap tanpa gerak. Lelaki itu pun tak lagi menoleh. Ia tak bergeming dengan pertanyaan yang diarahkan kepadanya.
Lelaki berseragam polisi itu kian gusar. Ia mencabut pistol yang tergantung di pinggangnya. Tapi, ketika ia hendak mengangkatnya dalam posisi menembak, sebuah batu sebesar kepalan tangan yang entah dari mana datangnya melayang ke arahnya dan mengenai keningnya. Ia roboh tanpa jerit. Darah segarnya menggenang di atas aspal. Cahaya bulan membiaskan darahnya. Suasana kian mencekam tanpa suara dan gerak.
Malam semakin dingin. Semua masih menonton. Perlahan tapi pasti, bulan purnama di langit merangkak ke barat. Hingga akhirnya suara azan bersahutan dari berbagai penjuru memecah kesenyapan. Lelaki itu mulai oleng. Tubuhnya melemah. Matanya tampak meredup dalam keremangan. Ia mulai menaiki pipa jembatan. Ia berdiri di atas pipa-pipa pembatas jembatan. Ia mengangkat tangan kirinya dengan terkepal ke udara. Semua mata yang menatapnya membiaskan keresahan. Lelaki itu kemudian berteriak menggelegar…..” Dewi Hapsani……………iiiiii………….” Di ujung teriakannya, sebuah ledakan keras menyudahi pementasan tunggalnya yang tak biasa di atas jembatan itu. Moncong pistol yang sejak kemarin ditempelkan di pelipis kanannya menyalak. Ia roboh tak bernyawa terbaring beberapa meter dari tubuh polisi yang juga roboh lebih dahulu. Orang-orang mulai memberanikan diri mendekat. dua tubuh yang bersimbah darah itu pun mulai diangkat oleh orang-orang. Mayat Lelaki yang berseragam polisi di angkat ke utara dan mayat lelaki yang bunuh diri dengan itu diangkat ke selatan.

Seorang gadis kecil dengan wajah yang polos tapi cantik bertanya pada bapak yang berdiri di sampingnya.
“ Pak, kenapa dia menembak kepalanya?”
Bapak itu menatap tajam si gadis lalu menjawab dengan suara yang bergetar sedih
“ Dia dikhianati istrinya. Istri yang sangat dicintainya selama ini. Istri yang mangantarnya pada pintu-pintu kekuasaan politik. Istri yang dipacarinya sejak masih remaja “
Dengan wajah yang polos dan dingin, gadis itu bertanya lagi dengan kening yang dikerutkan
“Pak sebenarnya, Siapa lelaki yang bunuh diri itu? “
Bapak yang berwajah bersih namun tampak lelah itu menjawab datar, dingin dan singkat.
“ GUBERNUR”
Gadis kecil itu terperangah. Ia lalu melangkah ke tengah jembatan. Berdiri di tempat gubernur yang baru saja bunuh diri. Ia menatap ke permukaan sungai. Sesekali ia menatap dingin ke wajah orang-orang yang bergegas pulang. Tak ada yang memperdulikannya. Ia naik ke atas pipa pembatas jembatan, ia berdiri. Tangan kanannya di kepalkan ke langit. Ia lalu berteriak di antara hingar bingar suara orang yang bergegas bubar. Suaranya melengking…… “Dikaa…….a………..aaaaaaa…….” orang-orang menoleh ke arahnya dan berlarian, berlomba meraih tubuhnya tapi, terlambat. Gadis kecil itu melompat ke sungai. Sungai yang mulai dikeringkan kemarau!


Makassar, 6 Oktober 2009

Bookmark and Share

Salam Hujan


Silahkan Baca juga Postingan berikut:

0 komentar:

Mau jadi pertamax?

Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.

Komentar Anda sangat Kerajaan Air Mata butuhkan untuk pengembangan kualitas blog Kerajaan Air Mata ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.

Silahkan Berkomentar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.

KOMENTAR

 

BLOG RANK

SESAMA BLOGGER