Jumat, 15 Januari 2010

CERPEN - JEMBATAN TRAGEDI DAN GERIMIS

Oleh : Andhika Mappasomba dan Ernawati Rasyid


Lelaki itu berdiri di tengah jembatan tua. Memegang besinya yang berkarat. Tentu saja akan meninggalkan bekas di tangan kasarnya. Ia memandang ke arah sungai yang mengalirkan segala kenangannya bersama dengan gadis setengah tua, dua tahun yang lalu. Semuanya tercecer menjadi serpihan. Sulit ia kumpulkan menjadi utuh. Kekasihnya pergi meninggalkannya karena ia sulit mengingat kenangan.



Ia memilih jembatan sebagai pintu untuk memasuki alam kenangannya. Ia melakukannya sebab ia dan kekasihnya selalu menikmati senja di atas jembatan tua. Senja yang memupuk cinta dalam hatinya. Memupuknya bagai mawar yang tumbuh di puncak gunung dan selalu segar dan mengalirkan keharuman pada angin.


Hari ini ia datang lagi bersama serpihan hatinya yang meluka karena kekasihnya pergi. Mata yang sembab seperti hari-hari kemarin selama sebulan lamanya. Ia berharap bisa bertemu kekasihnya di jembatan itu. Seperti dua tahun yang lalu. Saat burung-burung berkicau tak karuan karena cemburu melihat kemesraan sepasang kekasih menatap senja yang semakin ranum dan sepenggal cerita.


Ia setiap hari datang ke jembatan itu hanya berharap bertemu dengan kekasihnya. Bukan kekasihnya yang ia temukan melainkan retakan kenangannya. Pepohonan yang semakin meranggas daunnya. Suara kicauan burung yang tertawa renyah, tak ada lagi cemburu. Tak ada lagi kemesraan sepasang kekasih. Lelaki itu mati di tempat lain. Hidup di jembatan itu hanya mengumpulkan segala kenangannya menjadi utuh. Bersama hatinya yang meluka. Lalu dibawanya kembali ke pelataran kematiannya. Tanpa kekasihnya. Tanpa kemesraan sepasang kekasih. Tanpa kicauan burung yang cemburu.


Ia mencoba mengumpulkan segala serpihan kenangan itu di dalam kotak kaca yang ia bangun selama hampir sebulan ini. Selendang sutera pemberian kekasihnya saat kemesraan masih menggayut mereka di kala senja bernyanyi masih ia simpan di dalam lemarinya yang mulai rapuh karena waktu. Seperti dirinya.


***

Bulan berganti begitu cepatnya. Seperti detik yang berdetik yang tidak terasa oleh hati. Musim akan segera berganti menjadi gaun hijau yang indah. Lelaki itu masih saja berdiri di sisi jembatan tua dikala senja mulai bercerita. Matanya tak bisa lagi mengeluarkan air mata. Telah kering seperti tanah yang gersang tanpa setitik air jernih. Seperti hatinya yang telah kering karena kerinduan dan segala kenangan yang ia simpan selama beberapa tahun. Kenangan yang belum utuh jika kekasihnya belum ia temui.


Entah telah berapa kali lelaki itu selalu saja berdiri di jembatan tua itu. Ia telah meninggalkan setengah jiwanya di jembatan itu. Ia masih saja mengharapkan pertemuan dengan kekasihnya. Seperti beberapa musim yang telah berlalu. Hanya jembatan itu tempat satu-satunya segala kenangan terbungkus oleh beberapa musim. Ia ingin hidup bersama kenangannya. Bukan hanya setengah jiwanya yang hidup di tempat itu melainkan sebuah lemari tua. Lemari itu ia bawa dari rumahnya lalu disimpannya di sudut kanan jembatan.


Bukan hanya jiwa dan lemari itu yang berada di jembatan tua, lelaki setengah tua itu juga memindahkan tempat tidur, meja, dan kursinya. Ia khawatir kalau kekasihnya itu datang di kala embun masih berada di rerumputan. Sejak pagi hingga malam ia berada di jembatan tua itu menunggu kekasihnya datang menemuinya. Ia telah mengirimkan surat kepada kekasihnya tiga tahun yang lalu. Berharap bertemu dengannya di jembatan tua ini. Namun hingga detik ini sang kekasih belum juga datang. Tetapi lelaki itu masih terus menunggu.


Ia menghabiskan waktunya menunggu sambil menulis segala kenangan yang ia bisa kenang. Kelak jika kekasihnya datang, ia akan menceritakannya. Semuanya. Mulai dari pertemuan pertama mereka hingga kekasihnya datang.


Ia menulis di bawah senja. Lalu matanya tertarik pada sebuah sosok yang berjalan kearah jembatan tua. Kearahnya. Mata lelaki itu berbinar. Ia menghentikan tulisan-tulisan yang belum terselesaikan. Ia melompat dari kursinya dan berdiri di samping mejanya dengan senyum yang terus mengembang. Ia ingin memeluk dan melepaskan kerinduannya selama beberapa tahun ini. Serta menceritakan segala kenangan tentu saja.


Sosok itu semakin mendekat dan tampak nyata. Seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkat penyangga raganya yang telah rapuh. Matanya begitu senja yang menandakan ia baru saja ditinggalkan oleh suaminya yang ia cintai. Jalannya tertatih karena ia menghitung langkahnya saat berjalan dan kelak akan mengabarkan kepada cucunya bahwa ia telah berjalan sekian langkah. Setelah itu ia akan tersenyum merasa bangga karena kemenangan.


Wanita tua itu berhenti di bawah sebuah pohon yang rindang. Memijit-mijit kakinya yang tak lagi semulus dahulu. Ia lelah berjalan. Menghitung langkah kelak akan diberitahukan kepada cucunya. Lalu perlahan ia membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah cermin dan melihat wajah keriputnya dibalik cermin itu. Ia tersenyum memandang keriput yang menjalari di wajahnya. Mengingat saat sang kekasih dahulu meraba wajahnya. Ia masih cantik. Walau wajah dan setengah raganya telah keriput beberapa tahun ini.


Lelaki yang berada di jembatan tua itu terus memperhatikan. Senyum mengambang begitu saja di udara seperti balon gas yang terlepas dari genggaman seorang anak kecil. Hilang tanpa bekas. Ia ingin melepaskan balon kearah wanita yang duduk itu bahwa apa ia sedang menunggu seseorang seperti dirinya. Apa ia datang menggali segala kenangannya yang telah lapuk oleh waktu. Seperti ia menunggu kekasihnya datang menemuinya di jembatan kenangannya. Lelaki itu ingin berjalan dan duduk di samping wanita tua itu. Meraba kenangan wanita tua itu di wajahnya yang keriput. Adakah wanita tua itu adalah kekasihnya atau kekasih lelaki lain. Namun, lelaki itu hanya bisa berdiri menatap dengan sejuta tanyanya. Ia takut meninggalkan jembatan tua itu jika saja kekasihnya datang tiba-tiba menemuinya. Ia takut kehilangan kekasihnya kedua kalinya.


Senja telah berlalu meninggalkan segumpal malam yang segera hadir menjadi selimut rindu bagi lelaki tua itu. Seperti malam-malam sebelumnya. Wanita tua yang duduk di bawah pohon itu mulai beranjak. Meninggalkan tempat perjanjiannya dengan kekasihnya. Kembali berjalan dan menghitung langkah untuk diberitahukan kepada cucunya di rumah. Kembali memijit-mijit kakinya. Kembali meraba wajahnya yang keriput namun masih cantik seperti gadis-gadis yang memadu kasih di bawah pohon yang lain nun jauh di sana. Perlahan ia berjalan. Hanya melambaikan punggung tangannyanya yang terbalut selendang merah kepada lelaki itu. Lalu mengucapkan perpisahan kepada malam. Ia pun menghilang di balik pekatnya malam. Namun, masih jelas terdengar suara tongkatnya. Tak...tak..tak.. memukul jalanan berbatu.


Kertas dengan segala kenangan telah bertumpuk di atas mejanya. Namun sang kekasih belum juga datang. Ia telah menghabiskan setengah hidupnya menunggu sang kekasih di jembatan tua. Wanita tua yang selalu duduk di bawah pohon itu masih saja datang hingga beberapa waktu lamanya. Mungkin setengah tahun. Lelaki itu tidak pernah menghitungnya. Hanya bisa menatapnya. Tidak bisa menyapanya. Hanya bisa melihat senyumannya dan wajahnya yang semakin keriput.


Dedaunan mulai berguguran. Diterpa oleh angin entah dibawa kemana. Seperti dirinya menuliskan rindu dan kenangan di atas dedaunan kering. Lalu terbawa oleh angin. Mungkin ke tempat kekasihnya berada. Munkin juga terhempas ke hati pencinta yang terluka.


Senja akan berlalu beberapa waktu lagi. Lelaki yang ada di jembatan itu perlahan berjalan meninggalkan sejenak kenangannya. Menghitung beberapa langkah seperti wanita tua itu. Ia ingin meraba keriput wajah wanita tua itu dan menikmati segala kenangannya. Hanya beberapa langkah, ia melihat seseorang lain, berjalan menuju kearah jembatan tua. Senyum lelaki itu lalu mengembang seperti dahulu. Ia berharap kekasihnya yang datang menemuinya. Ia akan menceritakan segala kerinduan dan kenangan yang ia ukir di sela-sela waktu saat ia menunggu. Tetapi bukan kekasihnya yang datang. Melainkan seorang lelaki tua dengan rona wajah sahaja. Berjalan dengan sebuah tongkat. Ia berjalan sangat perlahan. Bagai menghitung jejak langkahnya. Kelak akan diceritakan kepada cucunya di rumah. Sebuah mawar merah merekah tersenyum di tangan kirinya. Sepatu kulit yang ia pakai tertutupi oleh debu. Wajahnya telah keriput namun masih tampan. Seperti remaja pria yang belasan tahun memadu kasih di tempat yang lain. Lelaki tua itu berjalan melewati jembatan tua dan seorang lelaki yang berdiri di sudut jembatan itu dengan segala kenangannya. Ia tersenyum. Sangat tampan seperti ia kembali ke usia remajanya. Ia pun berkata bahwa ia telah menemukan kekasihnya kembali. Kekasih yang dirindukannya bertahun lamanya.


Lelaki tua itu telah menemukan kekasihnya. Ia kembali mengukir kenangan baru dengan kekasihnya, wanita tua yang selalu duduk di bawah pohon di sudut jembatan itu. Mereka kembali untuk mengukir kenangan baru agar kelak dapat hidup dan bersama lagi. Jiwa mereka masih hidup karena kenangan yang telah lalu melekat di raganya yang telah rapuh. Mereka berjanji untuk bertemu lagi. Kembali seperti masa muda dahulu. Mereka pun pergi menghilang seperti senja yang pergi begitu saja dibalik sepenggal kisah. Malam mulai hadir kembali seperti dahulu. Menjadi selimut rindu bagi lelaki yang ada di jembatan tua itu. Masih menunggu kekasihnya.
Lelaki itu tidak sadar bahwa ia telah menghabiskan setengah tuanya menunggu kekasihnya di jembatan tua itu. Ia telah tua. Seperti lelaki tua membawa setangkai mawar yang dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Wajahnya telah keriput seperti wanita tua yang duduk di bawah pohon beberapa tahun yang lalu. Ia tidak mempunyai cermin. Ia ingin tahu, apa ia masih tampan seperti dahulu. Seperti saat ia memadu kasih dengan kekasihnya beberapa tahun yang lalu di jembatan tua ini. Hingga keriput menjalar di raganya, kekasihnya belum juga datang. Ia perlahan berjalan. Menghitung langkah kakinya. Menunggu kekasihnya di jembatan yang lain dengan sisa kenangan yang ada untuk dikenang kembali.


***


Musim berganti. Suara gemercik air sungai di jembatan tua itu tetap terdengar. Rinai hujan pagi ini mencairkan segala kenangan yang telah terkubur kebekuan waktu. Terdengar suara burung yang renyah berlindung di balik pepohonan. Sesekali merayu seorang wanita yang berdiri di jembatan tua itu. Wanita itu membiarkan gerimis membasahi hatinya yang telah kering. Keriput telah manggantung di wajah dan raganya. Namun, jiwanya masih muda seperti dahulu. Jiwanya masih hidup karena segala kenangannya yang telah lalu masih melekat erat di dalam hatinya.
Ia berdiri di jembatan tua itu sejak pagi hingga malam hadir dengan kisahnya yang lain di tengah-tengah gerimis. Ia mencoba mengais segala kenangan dan kelak menceritakannya kepada kekasihnya. Kekasih yang berjanji akan menemuinya di jembatan tua itu. Kekasih yang akan menemuinya di tengah-tengah gerimis basah. Ia tak peduli dengan sepasang kekasih yang lain sedang memadu kasih dan hidup.


Wanita tua itu masih menunggu kekasihnya. Ia mencoba mengumpulkan segala serpihan kenangannya yang terserak menjadi utuh agar ia bisa menceritakannya kepada kekasihnya jika telah datang menemuinya di jembatan itu. Menyimpannya di hati seperti edelweiss dalam kotak kaca. Setiap hari ia datang ke jembatan tua itu hanya menunggu kekasihnya menemuinya di tengah-tengah gerimis membasahi hatinya yang kering. dan kekasihnya yang nyata tak pernah datang. Lalu berpuluh tahun kemudian, jembatan tua itu digelari jembatan tragedi. Tempat muda-mudi memadu kasih dan membuka jalan tragedi. di antra mereka, Tidak ada lagi yang peduli pada kisah yang pernah memerah saga dan pilu di atas jembatan itu. kisah wanita tua pun lenyap di celah zaman tapi terus berulang pada wajah yang lain. tak ada yang pernah bertanya, mengapa jambatan itu digelari jembatan tragedi.


Makassar, 21 Mei 2009
***********************************************************************************
Bagikan
Cerpen Andhika Mappasomba dan Ernawati Rasyid di harian fajar. minggu, 10 Januari 2010.
Andhika Mappasomba dan Ernawati Rasyid adalah Pegiat Sastra, berdominsili di Makassar. Mereka aktif bersastra dan gerakan kebudayaan lainnya di Sulawesi Selatan. Tlp. 085232326523

Bookmark and Share

Salam Hujan


Silahkan Baca juga Postingan berikut:

0 komentar:

Mau jadi pertamax?

Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.

Komentar Anda sangat Kerajaan Air Mata butuhkan untuk pengembangan kualitas blog Kerajaan Air Mata ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.

Silahkan Berkomentar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.

KOMENTAR

 

BLOG RANK

SESAMA BLOGGER