kali ini aku akan mencoba untuk menulis sebuah kisah cerita bersambung yang tadi
nya adalah berkas naskah untuk novel perdanaku tapi mungkin akan lebih baik jika aku menulisnya untuk sebuah cerita bersambung sebuah roman atau pula novel semoga kawan kawan berkenan menerimanya, ini episode awal kisah Naraya, yang terangkum dalam Catatan Naraya
Makassar, February 2011
Hujan mulai turun saat itu, saat tak sengaja aku mendapati sebuah nama yang mirip namamu di sebuah daftar tamu yang akan menghadiri sebuah mimbar sastra di salah satu universitas swasta di Makassar. Tapi saat itu aku tak pernah berpikir bahwa itu benar dirimu, karena yang aku ingat Agus tak menyukai sastra, ia hanya tertarik pada rumus-rumus matematika dan yang berkaitan dengan angka-angka. Masih jelas dalam memoriku saat Agus kesal jika ia mengajariku pelajaran ilmu pasti tapi aku malah asyik menulis kata-kata, atau mendapatiku membaca sebuah novel atau yang paling parah aku tertidur pulas.
“Aya, dari tadi aku menjelaskan, kok kamu malah sibuk nulis kata-kata jelek begini? Besokkan kita ulangan, kamu mau nilaimu terbakar lagi?” tegurnya dengan nada dibuat buat jengkel, padahal ia tak pernah benar benar marah, lucu juga pikirku.
“Sudah tahu aku ga bisa lihat angka-angka masih juga sibuk menjelaskan ini itu, gampang kok kak Agus dekat sama aku duduknya besok terus aku nyontek selesai perkara kan?”
“Besok lusa jika aku pindah siapa yang mau ngajarin kamu? Ayolah Aya belajar, ilmu pasti itu tak serumit apa yang kamu pikirkan, anggap saja kamu lagi baca sebuah cerita kesukaanmu, soal nulis dan membaca nanti saja”
Itu kali terakhir Agus mengajariku, karena seminggu sebelum raport dibagikan ia dan keluarganya pindah, dan sejak saat itu aku tak tahu alamatnya. Ia hilang ditelan bumi.
***
Agus Wijaya, aku pernah menuliskan tentangmu beberapa waktu yang lalu, saat itu perjalananku kembali ke Makassar, dan sesaat sebelum kakiku meninggalkan Baraka kampung halaman kita, sebuah desa kecil di kabupaten Enrekang, aku tiba-tiba saja teringat padamu. Aku lupa kapan aku mulai mengingatmu, mengingat tingkah saat masih kecil bermanja dilaku kita. Yang aku ingat adalah saat itu kita masih sangat kecil, saat kau dan keluargamu meninggalkan kami sahabat sahabat nakalmu, aku masih ingat saat itu Lina, yang merupakan rifalmu dalam belajar dan prestasi menangis mendapati rumahmu kosong, aku juga menangis tapi airmata kusimpan erat di hatiku. Tak mau Lina, atau Rifai juga kawan kawan melihat aku jatuh dalam kesedihan kehilangan teman bermain.
Sejak kepergianmu, sangat lama aku mengurung diri dalam kamar, tak mau meninggalkan rumah, atau paling dekat di halaman rumahku, tempat kita selalu menghabiskan waktu. Dengan setia kau menemaniku bermain apa saja. Mengarajirku bermain kelereng, wayang, atau apa saja, entah apa yang membuatku teringat lagi padamu, saat ini sejak 10 tahun kita berpisah, senyummu kembali muncul dalam ingatanku.
Hujan masih saja turun mengiringi langkahku, menghadiri acara sastra itu. Bukan untuk mencari jejakmu, karena aku tak pernah mendapati diri mumenyukai sastra, tapi untuk memuaskan hatiku bahwa mungkin saja nama yang tertulis di sana memang namamu. Selain itu aku butuh pembuktian dari percakapanku dengan orang yang sama dengan namamu itu benar dirimu yang tak mengenaliku.
Aku penasaran, apa benar aku akan menemuimu, masihkah engkau seperti dulu, mengenaliku lewat bahasaku, ataukah hanya imajiku saja yang ingin melihatmu lagi. Hujan masih gerimis rupanya, namun kali ini pelangi melengkungkan warnanya di ujung langit. Aku gelisah duduk di pojok ruangan menikmati bait demi bait puisi melantunkan sajaknya, satu persatu peserta membacakan karyanya, dan akupun semakin gelisah adakah salah satu syair yang terbaca adalah pemiliknya dirimu?
Hingga akhir acara aku masih menunggumu menunaikan janji pertemuan padaku, namun bayanganmu juga tak hadir, bukan hanya aku yang menunggumu namun yang empunya acara juga harus mengurut dada karena ketidakhadiranmu yang tak member kabar sebelummnya. Aku bisa apa saat itu, yang ada hanya rasa kecewa bukan padamu tapi terlebih karena imajiku yang akhir akhir ini memaksaku mengingat kembali Agus teman masa kecilku yang tak tahu kemana rimbanya.
Sejak saat itu, aku benar benar telah membuang harapan dihatiku untuk mengetahui kabarmu, aku dan juga kawan kawan benar-benar telah berlepas hati mengenangmu, kami hanya mampu berdoa agar segala yang baik menyertai perjalannmu. Lina pernah bertanya padaku tentang dirimu, juga Rifai yang selalu terpingkal-pingkal jika kami kebetulan berkumpul mengenang masa masa I ndah kenakalan masa kanak-kanak.
“Agus, bagaimana ya kabarnya? Apakah ia masih menebar kata-kata indah pada gadis-gadis?” ucap Lina suatu ketika.
“Lin, kamu masih menyimpan cinta monyetmu padanya ya? Kamukan sudah menikah dan mempunyai dua orang putri?” Jawab Rifai yang saat itu masih menyimpan cemburu pada Agus karena cinta monyetnya pada Lina saat SMP didahului oleh Agus sahabat karibnya. Tapi sekarang ia tak perlu lagi bersaing dengan Agus, toh Lina sudah menjadi istrinya.
Melihat dan mendengar celoteh teman teman tentang Agus hanya membuatku senyum senyum sendiri. Jika Rifai dan Lina mengenang Agus dengan cinta monyet mereka lain lagi dengan Umi dan Ramli, Andika dan Ani. Jika kami berkumpul yang ia bicarakan adalah kemampuan Agus dalam mengolah angka-angka dan rumus rumus aljabar menjadi rangkaian kepastian sebuah langkah. Atau kemapuan dia mengolah sebuah kata menjadi syair yang indah, dan aku baru tahu kalau ternyata ia ada bakat menjadi seorang penyair. Itu diucapkan Ani setahun yang lalu saat kami reunian selepas Idul Fitri.
“Agus, selain pandai mengaji ia juga handal dalam mengolah kata-kata menjadi sebuah syair, aku masih ingat ia pernah membuatkan aku puisi untuk tugas Pak Sanusi guru bahasa Indonesia” ungkap Ani tanpa sengaja.
“iya, aku juga sering mendapati bukunya penuh dengan kata-kata pujangga” terang Ramli.
“eh, ada yang ingat Toni tidak? ia juga teman kita yang ikut orang tuanya ke Jawa kan?” ucapaku mengalihkan topik pembicaraan mereka,
“kabar terakhir dari Toni, ia sudah memiliki dua orang anak, kami masih saling kontak, ia menitipkan salam buat kalian semua” jawab Andika.
Buat teman-teman kenangan tentang Agus sangat banyak yang takkan habis diuraikan meski kami sudah berpuluh tahun tak bertemu. Rindu akan kebaikannya masih saja hangat di hati.
Sedang aku, apa yang mampu kuingat tentangmu? Cara bijakmu dalam menghadapi sebuah masalah, atau caramu mengajarkan aku tentang sebuah ilmu pasti atau hadirmu dalam tiap kesendirianku saat semua asyik bermain? Entahlah aku juga tak tahu apa yang mesti kuingat dari dirimu. Hanya sesal karena kau pergi tanpa memberikanku sebuah tanda yang hingga kini menyisakan lubang kosong di hatiku. Juga seribu tanya akan pernyataan Ramli dan Ani yang beranggapan bahwa Agus pandai menulis sebuah kata menjadi syair yang indah. Karena yang ia lakukan padaku saat aku asyik menulis kata-kata atau membaca buku cerita ia kesal. Atau marah karena aku selalu tampak bodoh di hadapanmu.
Sebelum senja benar-benar melangkahi jingga, aku berpamitan pulang pada sang empunya acara, membawa kecewa dan kesal di hati. Aku hanya mampu menguraikan kecewaku melalui jejaring social, tapi sebelum sempat aku tuangkan kecewaku dalam bait-bait puisi, pesanmu sudah terlebih dahulu muncul di layar komputerku. Sebuah puisi dan kata sambutan yang berbunyi:
“puisi ini seharusnya aku bacakan di Acara mimbar sastra tadi sore, tapi karena tragedy yang membuatku tak dapat menunaikan janji pada sahabat-sahabatku”
Tanpa menyembunyikan rasa kecewaku, aku bertanya padamu mengapa tak datang sedang kau telah berjanji akan datang. Kau hanya menjawab itu sebuah tragedy. Apa dayaku saat itu, tragedimu juga telah mebekas kecewa di hatiku. Dan sejak saat itupula kau menghilang lagi dari pertemananku.
Aku mungkin harus banyak bersyukur atas rahmat lupa yang dianugerahkan Allah pada setiap makhluknya, karena dengan itulah akupun melupakanmu, namun sisa kecewa di hati bukan lupa obatnya, karena lupa hanya mampu bermain dalam otak manusia, sedang kecewa berada jauh di hati. Menghilangnya dirimu dari pertemananku saat itu membuatku juga lupa akan diri dan puisi-puisimu.
Aku hanya tak bisa menghapus jejak kecewa di hatiku, jika mengingat akan janji yang tak kau tunaikan waktu itu. Aku masih menyimpan erat kecewa itu hingga kini.
Makassar, 20110917
Senin, 27 Mei 2013
Ayano Rosie-Catatan Naraya#1
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
3 komentar:
wah bersambung ya mba??
penasaran dengan kekecewaan tragedinya dan pertemuan dengan tokoh Agusnya nie.
terima kasih mba telah berkunjung
Buret= > selamat datang sahabt kami
moga berkenan dengan postingan kami
cerita yang mengharu biru, tetap aku ikuti. sukses ya sista :) salam sukses dan sehat selalu. have a nice day
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.